1.
Pengertian Kurikulum
Kurikulum adalah seperangkat atau
sistem rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pembelajaran yang
dipedomani dalam aktivitas belajar mengajar. Secara etimologis, kurikulum
berasal dari istilah curriculum dimana dalam bahasa inggris, kurikulum
adalah rencana pelajaran. Curriculum berasal dari bahasa latin
yaitu currere, kata currere memiliki banyak arti yaitu
berlari cepat, maju dengan cepat, menjalani dan berusaha untuk.
Dalam bahasa arab, kurikulum disebut dengan manhaj yang berarti jalan yang dilalui manusia pada berbagai bidang kehidupan, dalam pengertian kurikulum pendidikan bahasa arab yang dikenal dengan istilah manhaj al-dirasah yang jika dilihat artinya pada kamus tarbiyah adalah seperangkat perencanaan dan media yang dijadikan sebagai acuan lembaga pendidikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan.
Loading...
2.
Kegunaan
Kurikulum Bagi Guru
Guru tidak hanya
berfungsi sebagai pelaksana kurikulum sesuai dengan kurikulum yang berlaku,
tetapi juga sebagai pengembanga kurikulum dalam rangaka pelaksanaan kurikulum
tersebut.
3.
Prinsip-prinsip
kurikulum
a. Prinsip Relevansi
Prinsip
ini merupakan prinsip dasar yang paling dasar dalam sebuah kurikulum. Prinsip
ini juga bisa dikatakan sebagai rohnya sebuah kurikulum. Artinya apabila
prinsip ini tidak terpenuhi dalam sebuah kurikulum, maka kurikulum tersebut
tidak ada lagi artinya; kurikulum menjadi tidak bermakna. Prinsip relevansi
mengandung arti bahwa sebuah kurikulum harus relevan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sehingga para siswa mempelajari iptek yang
benar – benar terbaru yang memungkinkan mereka memiliki wawasan dan pemikiran yang
sejalan dengan perkembangan jaman. Relevan dengan kebutuhan dan karakteristik
siswa, artinya suatu kurikulum harus sesuai dengan potensi intelektual, mental,
emosional dan fisik para siswa. Apabila prinsip tidak terlaksana dalam
kurikulum yang nyata maka potensi yang dimiliki anak tersebut tidak berkembang
sebagai potensi yang diperlukan dalam melaksanakan tugas dan kehidupannya.
Relevan dengan kebutuhan karakteristik masyarakat artinya kurikulum harus
membekali para siswa dengan sejumlah keterampilan pengetahuan dan sikap yang
sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Apabila tidak terlaksana maka siswa tidak
dapat beradaptasi dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
b. Prinsip fleksibilitas
Prinsip
fleksibilitas terkait dengan keluwesan dalam tahap implementasi kurikulum.
Penerapan prinsip fleksibilitas dalam kurikulum adalah bahwa suatu kurikulum
harus dirancang secara fleksibel atau luwes sehingga pada saat
diimplementasikan memungkinkan untuk dilakukan perubahan untuk disesuaikan
dengan kondisi yang ada yang tidak terprediksi saat kurikulum itu dirangcang.
Contoh yang paling sederhana adalah pada saat sebuah kurikulum dirancang,
pembelajaran akan dilaksanakan dengan menggunakan media LCD projector atau
OHP/OHT namun pada saat hari H terjadi pemadaman listrik di lokasi. Bagi
kurikulum yang memenuhi prinsip fleksibilitas kondisi ini tidak menghambat
keberlangsungan pembelajaran. Dengan sedikit melakukan perubahan pada aspek
media yang digunakan pembelajaran tetap berlangsung namun tetap mengarah pada
pencapaian tujuan yang diharapkan. Jika prinsip fleksibilitas ini tidak
digunakan dimungkunkan tujuan pembelajaran yang direncanakan tidak terlaksana.
c. Prinsip kontinuitas
Perkembangan
dan proses belajar anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus –
putus. Artinya bagian – bagian, aspek – aspek, materi, dan bahan kajian
disusun secara berurutan, tidak terlepas – lepas, melainkan satu sama lain memiliki
hubungan fungsional yang bermakna, sesuai dengan jenjang pendidikan, struktur
dalam satuan pendidikan, dan tingkat perkembangan siswa. Oleh karena itu,
pengalaman – pengalaman yang disediakan kurikulum juga hendaknya
berkesinambungan antara satu tingkat kelas dengan kelas lainnya, antara satu
jenjang pendidikan dengan jenjang pendidikan yang lain juga antara jenjang
pendidikan dengan pekerjaan. Dengan prinsip ini, tampak jelas alur dan
keterkaitan di dalam kurikulum tersebut sehingga mempermudah guru dan siswa
dalam melaksanakan proses pembelajaran.
d. Prinsip efisiensi
Kurikulum
mudah dilaksanakan menggunakan alat – alat sederhana dan memerlukan biaya yang
murah. Kurikulum yang terlalu menuntut keahlian – keahlian dan peralatan yang
sangat khusus serta biaya yang mahal merupakan kurikulum yang tidak praktis dan
sukat dilaksanakan. Dana yang terbatas harus digunakan sedemikian rupa dalam
rangka mendukung pelaksanaan pembelajaran. Waktu yang tersedia bagi siswa
belajar di sekolah juga terbatas harus dimanfaatkan secara tepat sesuai dengan
mata ajaran dan bahan pembelajaran yang diperlukan. Tenaga di sekolah juga
sangat terbatas, baik dalam jumlah maupun dalam mutunya, hendaknya
didayagunakan secara efisien untuk melaksanakan proses pembelajaran.
e. Prinsip efektifitas
Walaupun
prinsip kurikulum itu mudah, sederhana, dan murah, keberhasilannya harus
diperhatikan secara kuantitas dan kualitas karena pengembangan kurikulum tidak
dapat dilepaskan dan merupakan penjabaran dari perencanaan pendidikan. Misal,
keterbatasan fasilitas ruangan, peralatan dan sumber keterbacaan, harus digunakan
secara tepat guna oleh siswa dalam rangka pembelajaran, yang kesemuanya demi
untuk meningkatkan efektivitas atau keberhasilan siswa.
4. Landasan
Kurikulum
a. Landasan Filosofis
Landasan
Filosofis dalam pengembangan kurikulum, yaitu akan membahas dan
mengidentifikasi landasan filsafat dan ilmplikasinya dalam mengembangkan
kurikulum. Filsafat membahas segala permasalahan manusia, termasuk pendidikan,
yang disebut filsafat pendidikan. Filsafatmemberikan arah dan metodologi
terhadap praktik-praktik pendidikan, sedangkan praktik- praktik
pendidikan memberikan bahan-bahan bagi
pertimbangan filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat. Hal inilah yang
menyebabkan landasan filosofis menjadi landasan penting dalam pengembangan
kurikulum. Dalam penyusunan kurikulum di Indonesia yang harus diacu adalah
Filsafat pendidikan pancasila. Filsafat pendidikan dijadikan dasar dan arah
sedangkan pelaksanaanya melalui pendidikan.
b.
Landasan Yuridis
Kurikulum
pada dasaranya adalah produk yuridis yang ditetapkan melalui keputusan menteri
Pendidikan Nasional RI. Sebagai pengejawantahan dari kebijakan pendidikan yang
ditetapkan oleh lembaga legislatif yang mestinya mendasarkan pada
konstitusi/UUD. Dengan demikian landasan yuridis pengembangan kurikulum di NKRI
ini adalah UUD 1945 (pembukaan alinia IV dan pasal 31), peraturan-peraturan
perundangan seperti: UU tentang pendidikan (UU No.20 Tahun 2003), UU Otonomi
Daerah, Surat Keputusan dari Menteri Pendidikan, Surat Keputusan dari Dirjen
Dikti, peraturan-peraturan daerah dan sebagainya.
c.
Landasan AgamIS
Agama tidak
bisa lepas dari dunia pendidikan termasuk pula di dalamnya, yaitu kurikulum.
Agama erat kaitannya dengan keadaan masyarakat yang mempercayainya. Karena
kepercayaan masyarakat tersebut, masyarakat memasukkan nilai-nilai agama
didalam segala kehidupan dunia mereka, tanpa terkecuali dalam mengembangkan
kurikulum.[1][1] Kurikulum akan
semakin populer bila landasan dari segi agamanya sama dengan mayoritas pemeluk
agama di daerah dimana sekolah tersebut berada. Oleh karena itu banyak lembaga
pendidikan yang menjadikan agama sebagai pusat dari pengembangan kurikulumnya.
Dari landasan
ini lahirlah lembaga pendidikan yang berdasar agama, seperti pondok pesantren,
madrasah-madrasah, sekolah tinggi islam, sekolah dasar islam, sekolah dasar
kristen, atau sekolah tinggi kristen.
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki berbagai
gejala sosial hubungan antar individu, antar golongan, antar lembaga sosial
atau masyarakat. Di dalam kehidupan kita tidak hidup sendiri, namun hidup dalam
suatu masyarakat. Dalam lingkungan itulah kita memiliki tugas yang harus
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sebagai bakti kepada masyarakat yang
telah memberikan jasanya kepada kita.
Tiap masyarakat memiliki norma dan adat kebiasaan yang harus
dipatuhi. Norma dan adat kebiasaan tersebut memiliki corak nilai yang
berbeda-beda, selain itu masing-masing dari kita juga memiliki latar belakang
kebudayaan yang berbeda. Hal inilah yang menjadi pertimbangan dalam
pengembangan sebuah kurikulum, termasuk perubahan tatanan masyarakat akibat
perkembangan IPTEK. Sehingga masyarakat dijadikan salah satu asas dalam
pengembangan kurikulum.
e.
Landasan
Empiris
Pada saat ini perekonomian Indonesia
terus tumbuh di tengah baying-bayang resesi dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 2005
sampai dengan 2008 berturut-turut 5,7%, 5,5%,
6,3%, 2008: 6,4% (www.presidenri.go.id/index.php/indikator). Pertumbuhan ekonomi Indonesia
tahun 2012 diperkirakan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomiNegara-negara ASEAN sebesar 6,5 – 6,9 % (Agus
D.W. Martowardojo, dalam Rapat Paripurna DPR, 31/05/2012). Momentum
pertumbuhan ekonomi ini harus terus dijaga dan ditingkatkan. Generasi muda
berjiwa wirausaha yang tangguh, kreatif,ulet, jujur, dan mandiri, sangat
diperlukan untuk memantapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan.
Generasi seperti ini seharusnya tidak muncul karena hasil seleksi alam, namun
karena hasil gemblengan pada tiap jenjang satuan pendidikan dengan kurikulum
sebagai pengarahnya.
Sebagai negara bangsa yang besar
dari segi geografis, suku bangsa, potensi ekonomi, dan beragamnya kemajuan
pembangunan dari satu daerah ke daerah lain, sekecil apapun ancaman
disintegrasi bangsa masih tetap ada. Maka, kurikulum harus mampu membentuk
manusia Indonesia yang mampu menyeimbangkan kebutuhan individu dan masyarakat
untuk memajukan jatidiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan kebutuhan
untuk berintegrasi sebagai satu entitas bangsa Indonesia.
Dewasa ini, kecenderungan
menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan kasus pemaksaan kehendak sering
muncul di Indonesia. Kecenderungan ini juga menimpa generasi muda, misalnya
pada kasus-kasus perkelahian massal. Walaupun belum ada kajian ilmiah bahwa
kekerasan tersebut berhulu dari kurikulum, namun beberapa ahli pendidikan dan
tokoh masyarakat menyatakan bahwa salah satu akar masalahnya adalah
implementasi kurikulum yang terlalu menekankan aspek kognitif dan
keterkungkungan peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang
menantang peserta didik. Oleh karena itu, kurikulum perlu direorientasi dan
direorganisasi terhadap beban belajar dan kegiatan pembelajaran yang dapat
menjawab kebutuhan ini. Berbagai elemen masyarakat telah memberikan kritikan,
komentar, dan saran berkaitan dengan beban belajar siswa, khususnya siswa
sekolah dasar. Beban belajar ini bahkan secara kasatmata terwujud pada beratnya
beban buku yang harus dibawa ke sekolah. Beban belajar ini salah satunya
berhulu dari banyaknya matapelajaran yang ada di tingkat sekolah dasar. Maka,
kurikulum pada tingkat sekolah dasar perlu diarahkan kepada peningkatan 3
(tiga) kemampuan dasar, yakni baca, tulis, dan hitung, dan pembentukan
karakter.
Berbagai kasus yang berkaitan dengan
penyalahgunaan wewenang, manipulasi, termasuk masih adanya kecurangan di dalam
Ujian Nasional menunjukkan mendesaknya upaya menumbuhkan budaya jujur dan
antikorupsi melalui kegiatan pembelajaran di dalam satuan pendidikan. Maka,
kurikulum harus mampu memandu upaya karakterisasi nilai-nilai kejujuran pada
peserta didik. Pada saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan manusia telah secara
nyata mempengaruhi secara negatif lingkungan alam. Pencemaran, semakin
berkurangnya sumber air bersih adanya potensi rawan pangan pada berbagai beahan
dunia, dan pemanasan global merupakan tantangan yang harus dihadapi generasi
muda di masa kini dan di masa yang akan datang. Kurikulum seharusnya juga
diarahkan untuk membangun kesadaran dan kepedulian generasi muda terhadap
lingkungan alam dan menumbuhkan kemampuan untuk merumuskan pemecahan masalah
secara kreatif terhadap isu-isu lingkungan dan ketahanan pangan.
Dengan berbagai kemajuan yang telah
dicapai, mutu pendidikan Indonesia harus terus ditingkatkan. Hasil riset PISA
(Program for International Student Assessment),studi yang memfokuskan pada
literasi bacaan, matematika, dan IPA menunjukkan peringkat Indonesia baru bisa menduduki 10 besar
terbawah dari 65 negara. Hasil Riset TIMSS (Trends in International Mathematics
and Science Study) menunjukkan siswa Indonesia berada pada rangking amat rendah
dalam kemampuan (1) memahami informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan
pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan pemecahan masalah dan (4)
melakukan investigasi. Hasil-hasil ini menunjukkan perlu ada perubahan
orientasi kurikulum, dengan tidak membebani peserta didik dengan konten namun
pada aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua warga negara untuk
berperanserta dalam membangun negaranya pada abad 21.
5. Komponen
Kurikulum
A.
Komponen Tujuan
Komponen tujuan berhubungan dengan
arah atau hasil yang diharapkan. Dalam skala makro, rumusan tujuan kurikulum
erat kaitannya dengan filsafat atau sistem nilai yang dianut masyarakat.
Bahkan, rumusan tujuan yang menggambarkan suatu masyarakat yang di cita –
citakan, misalkan, filsafat atau sistem nilai yang dianut masyarakat Indonesia
adalah pancasila, maka tujuan yang diharapkan tercapai oleh suatu kurikulum
adalah terbentuknya masyarakat yang pancasilais. Dalam skala mikro, tujuan
kurikulum berhubungan dengan misi dan visi sekolah serta tujuan yang lebih
sempit, seperti tujuan setiap mata pelajaran dan tujuan proses pembelajaran.
B.
Komponaen
bahan ajar
menurut
pannen (2003:13) terdiri dari tiga komponen inti, yaitu komponen utama,
komponen pelengkap dan komponen evaluasi hasil belajar. Komponen utama berisi
informasi atau topik utama yang ingin disampaikan kepada siswa, atau harus
dikuasai siswa. Umumnya bahan ajar utama berbentuk bahan ajar cetak. Sedangkan
komponen pelengkap dapat berupa informasi atau topik tambahan yang berintegrasi
dangan bahan ajar utama berbentuk bahan ajar cetak. Sedangkan komponen
pelengkap dapat berupa informasi atau topik tambahan yang terintegrasi dengan
bahan utama, atau informasi atau topik pengayaan wawasan siswa. biasanya
komponen pelengkap terdiri dari bahan pendukung cetak (materi pengayaan,
bacaan, jadwal, silabus), bahan pendukung non cetak (kaset, CD, VCD), panduan
siswa, panduan guru, dan lain-lain yang diperlukan siswa untuk mempelajari
suatu topik yang disajikan melaluikomponen pelengkap terdiri dari bahan
pendukung cetak (materi pengayaan, bacaan, jadwal, silabus), bahan pendukung
non cetak (kaset, CD, VCD), panduan siswa, panduan guru, dan lain-lain yang
diperlukan siswa untuk mempelajari suatu topik yang disajikan melalui beragam
media. Adapun komponen evaluasi hasil belajar terdiri dari perangkatsoal atau
butir tes atau alat evaluasi hasil belajar non tes yang dapat digunakan untuk
tes formatif siswa selama proses pembelajaran dan tes sumatif siswa pada akhir
semester.
C.
Komponen proses belajar mengajar
Tujuan akhir dri proses belajar mengajar adalah diharapkan
terjadinya perubahan dalam tingkah laku anak. Komponen ini juga mempunyai
keterkaitan erat dengan suasana belajar di ruangan kelas maupun di luar kelas.
Dalam menciptakan suasana pengajaran yang kondusif agar efektivitas tercipta
dalam proses pengajaran, Subandijah[6] mengatakan
bahwa guru perlu memusatkan pada kepribadiannya dalam mengajar, menerapkan
metode mengajarnya, memusatkan pada proses dengan produknya, dan memusatkan
pada kompetensi yang releven.
D.
Komponen Hasil Belajar
Untuk
menilai keberhasilan penguasaan siswa atau tujuan-tujuan khusus yang telah
ditentukan, diadakan suatu evaluasi. Evaluasi ini disebut juga evaluasi hasil
belajar mengajar. Dalam evaluasi ini disusun butir-butir soal untuk mengukur
pencapaian tiap tujuan khusus yang telah ditentukan. Untuk tiap tujuan khusus
minimal disusun satu butir soal. Menurut lingkup luas bahan dan jangka waktu
belajar dibedakan antara evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.
Evaluasi
formatif ditujukan untuk menilai penugasan siswa terhadap tujuan-tujan belajar
dalam jangka waktu yang cukup pendek. Tujuan utama dari evaluasi formatif
sebenarnya lebih besar ditujukan untuk menilai proses pengajaran. Dalam
kurikulum pendidikan dasar dan menengah evaluasi formatif digunakan untuk
menilai penugasan siswa setelah selesai mempelajari satu pokok bahasan. Hasil
evaluasi formatif ini terutama digunakan untuk memeprbaiki proses
belajar-mengajar dan membantu mengatassi kesulitan-kesulitan belajar siswa.
Dengan demikian evaluasi formatif, selain sebagai fungsi menilai proses, juga merupakan
evaluasi atau tes diagnostik.
Evaluasi
sumatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan yang
lebih luas, sebagai hasil usaha belajar dalam jangkaa waktu yang cukup lama,
satu semester, satu tahun atau selama jenjang pendididkan. Evaluasi sumatif
mempunyai fungsi yang lebih luas dari pada evaluasi formatif. Dalm kurikulum
pendidikan dasar dan menengah, evaluasi sumatif dimaksudkan untuk menilai
kemajuan belajar siswa (kenaikan kelas, Kelulusan ujian) serta menilai
efektifitas program secara menyeluruh.
Untuk
mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan yang telah ditentukan
atau bahan yang telah diajarkan ada dua macam, yaitu: Criterion Referenced dan
Norm Referenced.
Dalam
Criterion Referenced, Yaitu penguasaan siswa yang diukur dengan sesuatu tes
hasil belajar dibandingkan dengan sesuatu kriteria tertentu umpamanya 80% dari
tujuan atau bahan yang diberikan. Dengan demikian dalam criterion referenced
ada suatu kriteria standar. Dalam Norm Referenced, tidak ada suatu kriteria
sebagai standar, penguasaan siswa dibandingkan tingkat penguasaan
kawan-kawannya satu kelompok. Dengan demikian norma yang digunakan adalah norma
kelompok, yang lebih bersifat relatif. Kelompok ini dapat berupa kelompok
kelas, sekolah, daerah, ataupun nasional,. Dalm implementasi kurikulum atau
pelaksanaan pengajaran, criterion referenced digunakan pada evaluasi formatif,
sedangkan norm referenced digunakan pad evaluasi sumatif.
9. Tingkatan Tujuan Pembelajaran
a. Tujuan
Pembelajaran Kognitif
o
Kawasan kognitif adalah kawasan
membahas tujuan pembelajaran dengan proses mental yang berawal dari tingkat
pengetahun ketingkat yang lebih tinggi yakni efaluasi. Kawasan kognitif terdiri
dari enam tingkatan yaitu:
o
Tingkat pengetahuan adalah kemampuan
paling rendah tetapi paling dasar dalam kawasan kognitif, diartikan kemampuan
seseorang dalam menghafal atau mengingat kembali yang pernah diterimanya
o
Tingkat Pemahaman diartikan kemampuan seseorang dalam mengartikan,
menafsirkan, menerjemahkan, atau menyatakan sesuatu dengan caranya sendiri
dengan cara yang pernaah diterimanya
o
Tingkat penerapan diartikan keampuan
seseorang dalam menggunakan menggunakan pengetahuan dalam menggunuakan berbagai
konsep, prinsip, prosedur, atau teori tertentu pada situasi tertentu
o
Tingkat analisis diartikan kemampuan
menjabarkan atau mebnguraikan suatu konsep menjadi bagian-bagian yang lebih
rinci, memilahmilih, merinci mengaitkan hasil rinciannya
o
Tingkat sintesis dartikan kemampuan
untuk mengumpulkan dan mengoorganisasikan semua unsure atau bagian sehingga
membentuk satu kesatuan secara utuh
o
Tingkat evaluasi diartikan kemampuan
mengambil keputusan, menyatakan pendapat atau memberi penilaiaan
berdasarkan criteria tertentu baik
kualitatif, maupun kwantitatif
B.
Tujuan
Pembelajaran Efektif
Kawasan
efektif adalah suatu domain yang berkaitan dengan sikap, nilai-nilai interest,
apresiasi atau penghargaan dan penyesuaian perasaan social
·
Tujaun pengajaran yang diarahkan
pada kawasan ini berorientasi pada factor-faktor emosional seperti perasaan,
minat sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya. Penglongannya
dikategorikan dalam enam taksonomi yaitu:
·
Penerimaan, taksonomi efektif pada
tahap ini terbatas pada adanya perhatian stimulus
·
Penanggapan pada tahap ini yang
bersangkutan mulai mengadakan aksi terhadap stimulus
·
Kepuasan menanggapi yaitu adanya
aksi atau kegiatan yang herhubugan dengan usaha untuk memuaskan keeinginan
·
Penilaian sudah mulai timbul proses
internalisasi, yaitu proses untuk memiliki dan menghayati nilai dari stimulus
yang dihadapi
·
pengoorganisasian yang bersaangkutan
tidak hanya mnginternalisasikan satu nilai tertentu seperti tahap komitmen,
tapi mulai melihat beberapa nilai yang relevan untuk disusun menjadi satu
system nilai
·
karakterisasi yaitu kemampuan untuk
menghayaati atau mempribadikan system nilai
C.
Tujuan
Pembelajaran Psikomotor
·
Pemgajaran yang terarah pada kawasan
ini menuntut pembangunan ketramilan dalam bidang tertentu. Simons membagi kawasan ini pada
tujuh taksonomi yaitu:
·
Persepsi, berkenaan dengan
penggunaan indra dalam melakukan kegiatan
·
Kesiappan melakukan suatu kegiatan,
berkenaan dengan melakukan suatu kegiatan
·
Mekanisme, berkenaan dengan respon
yang sudah dipelajarti
·
Respon terbimbing, berkenaan dengan
meniru atau mengikuti
·
Kemahiran, berkenaan dengan
penampilan gerak motorik dengan ketrampilan penuh
·
Adaptasi, berkenaan dengan kemampuan
yang telah berkembang opada diri indifidu
·
Organisasi, berkenaan pada
penciptaan pola gerak baru untuk disesuaikan dengan situasi atau masalah
tertentu.
10.
Pengertian Belajar
Belajar adalah perubahan yang relatif
permanen dalam perilaku
atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang
diperkuat. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan
respon.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan
perilakunya. Menurut teori ini, dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respons.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru
kepada pelajar, sedangkan respons berupa reaksi atau tanggapan pelajar terhadap
stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus
dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan
tidak dapat diukur, yang dapat diamati adalah stimulus dan respons. Oleh karena
itu, apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pelajar
(respons) harus dapat diamati dan diukur.
11. Kegunaan teori belajar bagi guru
Guru
adalah teknisi pengajaran yang berurusan dengan produk produk pembelajaran.
Guru bisa menggunakan prosedur yang telah dibuat oleh teknolog pembelajaran tanpa
mementingkan intuisi dan tidak perlu lagi melakukan validasi empiric. Hal
ini karena prosedur yang dibuat telah diawali oleh intuisi dan telah diuji
secara empiric. Dalam menyusun prosedur tersebut teknolog pembelajaran
telah menggunakan teori/prinsip yang dihasilkan ilmuwan. Dalam
menghasilkan teori, ilmuwan telah melakukan pengujian interaktif dan utuh.
Dengan
adanya teori belajar dan pembelajaran guru bisa memanfaatkan teori belajar dan
pembelajaran untuk menjadi guru yang professional. Misalnya dalam
merumuskan tujuan pembelajaran yang tepat, memilih strategi yang sesuai,
memberikan bimbingan atau konseling, memfasilitasi dan memotivasi belajar
peserta didik, menciptakan iklim belajar yang kondusif, berinteraksi dengan
siswa secara tepat dan memberi penilaian secara adil terhadap hasil
pembelajaran
12. Ciri ciri tingkah
laku hasil belajar, yaitu:
- Terbentuknya tingkah laku baru berupa kemampuan aktual dan potensial
- Kemampuan baru tersebut berlaku dalam waktu yang relatif lama
- Kemampuan tersebut diperoleh melalui usaha
13. Prinsip-Prinsip
Belajar
Prinsip-prinsip
dalam belajar baik bagi siswa yang perlu meningkatkan upaya belajarnya maupun
bagi guru dalam upaya meningkatkan kualitas mengajarnya. Prinsip-prinip itu
berkaitan dengan perhatian dan motivasi, keaktifan, keterlibatan
langsung/berpengalaman, pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan, serta
perbedaan individual.
a. Perhatian dan Motivasi
Perhatian
mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar. Dari kajian teori belajar
pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tak mungkin terjadi
belajar (Gage dan Berliner, 1984: 335). Perhatian terhadap pelajaran akan
timbul pada siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Apabila
bahan pelajaran itu dirasakan sebagai sesuatu yang di butuhkan, di perlukan
untuk belajar lebih lanjut atau diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, akan
membangkitkan motivasi untuk mempelajarinya.
Di
samping perhatian, motivasi mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar.
Motivasi adalah tenaga yang menggerakan dan mengarahkan aktivitas seseorang.
“Motivation is the concept we use when we describe the force actionon or within
an organism to initiate and direct behavior” demikian menurut H.L. Petri
(Petri, Herbert L, 1986:3). Motivasi dapat merupakan tujuan dan alat dalam
pembelajaran. Sebagai tujuan, motivasi merupakan salah satu tujuan dalam
mengajar. Guru berharap bahwa siswa tertarik dalam kegiatan intelektual dan
estetik sampai kegiatan belajar berakhir. Sebagai alat, motivasi merupakan
salah satu faktor seperti halnya intelegensi dan hasil belajar sebelumnya yang
dapat menentukan keberhasilan belajar siswa dalam bidang pengetahuan,
nilai-nilai, keterampilan.
Motivasi
mempunyai kaitan yang erat dengan minat. Siswa yang memiliki minat terhadap
sesuatu bidang studi tertentu cenderung tertarik perhatiannya. Motivasi juga di
pengaruhi oleh nilai-nilai yang di anut akan mengubah tingkat laku manusia dan
motivasinya.
Motivasi
dapat bersifat internal, artinya datang dari dirinya sendiri, dapat juga
bersifat eksternal yakni datang dari orang lain.
Motivasi
juga di bedakan atas motif intrinsik dan motif ekstrinsik. Motif intrinsik
adalah tenaga pendorong yang sesuai dengan perbuatan yang di lakukan.
Sedangkan, motif ekstrinsik adalah tenaga pendorong yang ada diluar perbuatan
yang dilakukannya tetapi menjadi penyertanya.
Motif
intrindik dapat bersifat internal, datang dari diri sendiri, dapat juga
bersifat eksternal, datang dari luar. Motif ekstrinsik bisa bersifat internal
maupun eksternal, walaupun lebih banyak bersifat eksternal. Motif ekstrinsik
dapat juga berupa menjadi motif intrinsik yang disebut “transformasi motif”.
b. Keaktifan
Kecenderungan
psikologi dewasa ini menganggap bahwa anak adalah makhluk yang aktif. Anak
mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya
sendiri. Belajar tidak bisa di paksakan eloh orang lain dan juga tidak bisa di
limahkan kepada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak aktif
mengalami sendiri. John Dewey mengemukakan, bahwa belajar adlah menyangkut apa
yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang
dari siswa sendiri, guru hanya sekedar pembimbing dan pengarah (John Dewey
1916, dalam Davies, 1937:31).
Menurut
teori kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang sangat aktif, jiwa
mengolah informasi yang kita terima, tidak sekadar menyimpannya saja tanpa
mengadakan tranformasi. (Gage ad Barliner, 1984:267). Menurut teori ini anak
memiliki sifat aktif, konstruktif, dan mampu merencanakan sesuatu. Anak mampu
untuk mencari, menemukan, dan menggunakan pengetahuan yang telah di perolehnya.
Dalam proses belajar-mengajar anak mampu megidentifikasi, merumuskan masalah,
mencari dan menemukan fakta, menganalisis, menafsirkan, dan menarik kesimpulan.
Thornidike
mengemukakan keaktifan siswa dalam belajar dengan hukum “law of excercise” –nya
yang menyatakan bahwa belajar memerlukan adanya latiha-latihan. Mc Keachie
berkenaan dengan prinsip keaktifan mengemukakan bahwa individu merupakan
“manusia belajar yang aktif selalu ingin tahu, sosial” (Mc Keachie, 1976:230
dari Gredler MEB terjemahan Munandir, 1991:105).
Dalam
proses belajar, siswa selalu menampakkan keaktifan. Keaktifan itu braneka ragam
bentuknya. Mulai dari kegiatan fisik yang mudah kita amati sampai kegaiatan
psikis yang susah diamati.
c. Keterlibatan Langsung/Berpengalaman
Edgar
Dale dalam penggolongan pengalaman belajar yang dituangkan dalam kerucut
pengalamannya mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar
melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung siwa
tidak sekedar mengamati secara langsung tetapi ia harus menghayati, terlibat
langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab trehadap hasilnya.
Pentingnya
keterlibatan lansung dalam belajar dikemukakan oleh John Dewey dengan “Learning
by doing” –nya. Belajar sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung.
Belajar harus dilakukan oleh siswa secara aktif, baik, individual maupun
kelompok, dengan cara memecahkan masalah (problem solving). Guru
bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator.
Keterlibatan
siswa di dalam belajar jangan di artikan keterlibatan fisik semata, namun lebih
dari itu terutama adalah keterlibatan mental emosional, keterlibatan engan
kegiatan kognitif dalam pencapaian dan perolehan pengetahuan, dalam penghayatan
dan internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap dan nilai, dan juga pada
saat mengadakan latihan-latihan dalam pembentukan ketrampilan.
d. Pengulangan
Teori
Psikologi Daya menerangkan bahwa belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada
manusia yang terdiri atas daya mengamat, menangggap, mengingat, mengkhayal,
merasakan, berpikir dan sebagainya. Dengan mengadakan pengulangan maka
daya-daya tersebut akan berkembang. Seperti halnya pisau yang selalu di asah
akan menjadi tajam, maka daya-daya yang dilatih dengan pengadaan
pengulangan-pengulangan akan menjadi sempurna.
Teori
lain yang menekankan prinsip pengulangan adalah teori Psikologi Asosiasi atau
Koneksionisme dengan tokohnya yang terkenal Thorndike. Berangkat dari salah
satu hukum belajarnya “Law of Exercise”, ia mengemukakan bahwa belajar ialah
pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan pengulangan terhadap
pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respon benar. Seperti
kata pepatah “Latihan menjadikan sempurna” (Thorndike, 1931b:20, dari Gredler,
Margareth E Bell, terjemahan Munandir, 1991:51). Psikologi Conditioning
yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari koneksionisme juga menekankan
pentingnya pengulangan dalam belajar. Kalau pada koneksionisme, belajr adlah
pembentukan hubungan stimulus dan respon maka pada psikologi conditioning
respons akan timbul bukan karena saja oleh stimulus. Tetapi juga oleh
stimulus yang dikondisikan.
Ketiga
teori tesebut menekankan pentingnya prinsip pengulangan dalam belajar walaupun
dengan tujuan yang berbeda. Yang pertama pengulangan untuk melatih daya-daya
jiwa sedangkan yang kedua dan ketiga pengulangan untuk membentuk respon yang
benar dan membentuk kebiasaan-kebiasaan. Walaupun kita dapat menerima bahwa
belajar adalah pengulangan seperti yang ikemukakan ketiga teori tersebut,
karena tidak dapat dipakai untuk menerangkan semua bentuk belajar, namun
prinsip pengulangan masih relevan sebagai dasar pembelajaran. Dalam belajar
masih tetap diperluksn latiahan pengulangan. Metode drill dan stereotyping
adalah bentuk belajar yang menerapkan prinsip pengulangan (Gage dan Berliner,
1984:259).
e. Tantangan
Teori
medan (Field Theori) dari Kurt Lewin mengemukakan bahwa siswa dalam situasi
belajar berada dalam suatu medan atau lapangan psikologis dalam situasi belajar
siswa menghadapi suatu tujuan yang ingin di capai tetapi selalu terdapat
hambatan yaitu mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi
hambatan itu yaitu dengan mempelajari bahan belajar tesebut. Apabila hambatan
itu telah diatasi, artinya tujuan belajar talah tercapai, maka ia akan masuk
dalam medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya. Agar pada anak timbul
motif yang kuat untuk mengatasi hambatan dengan baik maka bahan belajar
ahruslah menantang. Tantangan yang dihadapi dalam bahan belajar membuat siswa
bergairah untuk mengatasinya. Bahan belajar yang baru, yang banyak mengandung
masalah yang perlu dipecahkan membuat siswa tertantang untuk mempelajarinya.
Pelajaran yang memberi kesempatan pada siswa untuk menemukan konsep-konsep,
prinsip-prinsip, dan prinsip-prinsip, generalisai tersebut. Dan belajar yang
telah iolah secara tuntas oleh guru sehingga siswa tinggal menelan saja kurang
menarik bagi siswa.
Penggunaan
metode Eksperimen, inkuiri, discovery juga memberikan tantangan bagi siswa
untuk belajar secara lebih giat dan sungguh-sungguh. Penguatan positif maupun
negatif juga akan menantang siswa dan menimbulkan motif untuk memperoleh
ganjaran atau terhindar dari hukum yang tidak menyenangkan.
f.
Perbedaan
individual
Siswa
merupakan individual yang unik artinya tidak ada dua orang siswa yang sama
persis, tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Perbedaan itu
terdapat pada karakteristik psikis, kepribadian, dan sifat-sifatnya.
Perbedaan
individual ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa. Karenanya,
perbedaan individu perlu diperhatiakan oleh guru dalam upaya pembelajaran.
Sistem penidikan klasikal yang dilakukan di sekolah kita kurang memperhatikan
masalah perbedan individual, umumnya pelaksanaan pembelajaran di kelas dengan
melihat siswa sebagai individu dengan kemampuan rata-rata, kebiasaan yang
kurang lebih sama, demikian pula dengan pengetahuannya.
Pembelajaran
yang bersifat klasikal yang mengabaikan perbeaan individual dapat diperbaiki
dengan beberapa cara. Antara lain penggunaan metode atau strategi
belajar-mengajar yang bervariasi sehingga perbedaan-perbedaan kemampuan siswa
dapat terlayani. Juga penggunaan media intruksional akan membantu melayani
perbeaan-perbedaan siswa dalam belajar. Usaha lain untuk pembelajaran klasikal
adalah dengan memberikan tambahan pelajaran atau pengayaan pelajaran bagi siswa
yang pandai, dan memberikan tugas-tugas hendaknya disesuaikan dengan minat dan
kemampuan siswa sehingga bagi siswa yang pandai, sedang, maupun kurang akan
merasakan berhasil di dalam belajar. Sebagai unsur primer dan sekunder dalam
pembelajaran, maka dengan sendirinya siswa dan guru terimplikasi adanya
prinsip-prinsip belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar