Jumat, 04 November 2016

TUGAS PERBAIKAN MATA KULIAH KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN



1.      Pengertian Kurikulum

Kurikulum adalah seperangkat atau sistem rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pembelajaran yang dipedomani dalam aktivitas belajar mengajar. Secara etimologis, kurikulum berasal dari istilah curriculum dimana dalam bahasa inggris, kurikulum adalah rencana pelajaran. Curriculum berasal dari bahasa latin yaitu currere, kata currere memiliki banyak arti yaitu berlari cepat, maju dengan cepat, menjalani dan berusaha untuk.

Dalam bahasa arab, kurikulum disebut dengan manhaj yang berarti jalan yang dilalui manusia pada berbagai bidang kehidupan, dalam pengertian kurikulum pendidikan bahasa arab yang dikenal dengan istilah manhaj al-dirasah yang jika dilihat artinya pada kamus tarbiyah adalah seperangkat perencanaan dan media yang dijadikan sebagai acuan lembaga pendidikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan.
Loading...

2.      Kegunaan Kurikulum Bagi Guru
Guru tidak hanya berfungsi sebagai pelaksana kurikulum sesuai dengan kurikulum yang berlaku, tetapi juga sebagai pengembanga kurikulum dalam rangaka pelaksanaan kurikulum tersebut.
3.      Prinsip-prinsip kurikulum
a.      Prinsip Relevansi
Prinsip ini merupakan prinsip dasar yang paling dasar dalam sebuah kurikulum. Prinsip ini juga bisa dikatakan sebagai rohnya sebuah kurikulum. Artinya apabila prinsip ini tidak terpenuhi dalam sebuah kurikulum, maka kurikulum tersebut tidak ada lagi artinya; kurikulum menjadi tidak bermakna. Prinsip relevansi mengandung arti bahwa sebuah kurikulum harus relevan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sehingga para siswa mempelajari iptek yang benar – benar terbaru yang memungkinkan mereka memiliki wawasan dan pemikiran yang sejalan dengan perkembangan jaman. Relevan dengan kebutuhan dan karakteristik siswa, artinya suatu kurikulum harus sesuai dengan potensi intelektual, mental, emosional dan fisik para siswa. Apabila prinsip tidak terlaksana dalam kurikulum yang nyata maka potensi yang dimiliki anak tersebut tidak berkembang sebagai potensi yang diperlukan dalam melaksanakan tugas dan kehidupannya. Relevan dengan kebutuhan karakteristik masyarakat artinya kurikulum harus membekali para siswa dengan sejumlah keterampilan pengetahuan dan sikap yang sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Apabila tidak terlaksana maka siswa tidak dapat beradaptasi dan berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
b.      Prinsip fleksibilitas
Prinsip fleksibilitas terkait dengan keluwesan dalam tahap implementasi kurikulum. Penerapan prinsip fleksibilitas dalam kurikulum adalah bahwa suatu kurikulum harus dirancang secara fleksibel atau luwes sehingga pada saat diimplementasikan memungkinkan untuk dilakukan perubahan untuk disesuaikan dengan kondisi yang ada yang tidak terprediksi saat kurikulum itu dirangcang. Contoh yang paling sederhana adalah pada saat sebuah kurikulum dirancang, pembelajaran akan dilaksanakan dengan menggunakan media LCD projector atau OHP/OHT namun pada saat hari H terjadi pemadaman listrik di lokasi. Bagi kurikulum yang memenuhi prinsip fleksibilitas kondisi ini tidak menghambat keberlangsungan pembelajaran. Dengan sedikit melakukan perubahan pada aspek media yang digunakan pembelajaran tetap berlangsung namun tetap mengarah pada pencapaian tujuan yang diharapkan. Jika prinsip fleksibilitas ini tidak digunakan dimungkunkan tujuan pembelajaran yang direncanakan tidak terlaksana.
c.       Prinsip kontinuitas
Perkembangan dan proses belajar anak berlangsung secara berkesinambungan, tidak terputus – putus. Artinya bagian – ­bagian, aspek – aspek, materi, dan bahan kajian disusun secara berurutan, tidak terlepas – lepas, melainkan satu sama lain me­miliki hubungan fungsional yang bermakna, sesuai dengan jenjang pendidikan, struktur dalam satuan pendidikan, dan tingkat perkem­bangan siswa. Oleh karena itu, pengalaman – pengalaman yang disediakan kurikulum juga hendaknya berkesinambungan antara satu tingkat kelas dengan kelas lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang pendidikan yang lain juga antara jenjang pendidikan dengan pekerjaan. Dengan prinsip ini, tampak jelas alur dan keterkaitan di dalam kurikulum tersebut sehingga mempermudah guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran.
d.      Prinsip efisiensi
Kurikulum mudah dilaksanakan menggunakan alat – alat sederhana dan memerlukan biaya yang murah. Kurikulum yang terlalu menuntut keahlian – keahlian dan peralatan yang sangat khusus serta biaya yang mahal merupakan kurikulum yang tidak praktis dan sukat dilaksanakan. Dana yang terbatas harus digunakan sedemikian rupa dalam rangka men­dukung pelaksanaan pembelajaran. Waktu yang tersedia bagi siswa belajar di sekolah juga terbatas harus dimanfaatkan secara tepat sesuai dengan mata ajaran dan bahan pembelajaran yang diperlukan. Tenaga di sekolah juga sangat ter­batas, baik dalam jumlah maupun dalam mutunya, hendaknya didayagunakan secara efisien untuk melaksanakan proses pem­belajaran.
e.       Prinsip efektifitas
Walaupun prinsip kurikulum itu mudah, sederhana, dan murah, keberhasilannya harus diperhatikan secara kuantitas dan kualitas karena pengembangan kurikulum tidak dapat dilepaskan dan merupakan penjabaran dari perencanaan pendidikan. Misal, keterbatasan fasilitas ruangan, peralatan dan sumber keterbacaan, harus digunakan secara tepat guna oleh siswa dalam rangka pembelajaran, yang kesemuanya demi untuk meningkatkan efektivitas atau keberhasilan siswa.
4.    Landasan Kurikulum
a. Landasan Filosofis
Landasan Filosofis dalam pengembangan kurikulum, yaitu akan membahas dan mengidentifikasi landasan filsafat dan ilmplikasinya dalam mengembangkan kurikulum. Filsafat membahas segala permasalahan manusia, termasuk pendidikan, yang disebut filsafat pendidikan. Filsafatmemberikan arah dan metodologi terhadap praktik-praktik pendidikan, sedangkan praktik- praktik   pendidikan   memberikan   bahan-bahan   bagi pertimbangan filosofis. Keduanya sangat berkaitan erat. Hal inilah yang menyebabkan landasan filosofis menjadi landasan penting dalam pengembangan kurikulum. Dalam penyusunan kurikulum di Indonesia yang harus diacu adalah Filsafat pendidikan pancasila. Filsafat pendidikan dijadikan dasar dan arah sedangkan pelaksanaanya melalui pendidikan.
b.      Landasan Yuridis
Kurikulum pada dasaranya adalah produk yuridis yang ditetapkan melalui keputusan menteri Pendidikan Nasional RI. Sebagai pengejawantahan dari kebijakan pendidikan yang ditetapkan oleh lembaga legislatif yang mestinya mendasarkan pada konstitusi/UUD. Dengan demikian landasan yuridis pengembangan kurikulum di NKRI ini adalah UUD 1945 (pembukaan alinia IV dan pasal 31), peraturan-peraturan perundangan seperti: UU tentang pendidikan (UU No.20 Tahun 2003), UU Otonomi Daerah, Surat Keputusan dari Menteri Pendidikan, Surat Keputusan dari Dirjen Dikti, peraturan-peraturan daerah dan sebagainya.
c.       Landasan AgamIS
Agama tidak bisa lepas dari dunia pendidikan termasuk pula di dalamnya, yaitu kurikulum. Agama erat kaitannya dengan keadaan masyarakat yang mempercayainya. Karena kepercayaan masyarakat tersebut, masyarakat memasukkan nilai-nilai agama didalam segala kehidupan dunia mereka, tanpa terkecuali dalam mengembangkan kurikulum.[1][1] Kurikulum akan semakin populer bila landasan dari segi agamanya sama dengan mayoritas pemeluk agama di daerah dimana sekolah tersebut berada. Oleh karena itu banyak lembaga pendidikan yang menjadikan agama sebagai pusat dari pengembangan kurikulumnya.
Dari landasan ini lahirlah lembaga pendidikan yang berdasar agama, seperti pondok pesantren, madrasah-madrasah, sekolah tinggi islam, sekolah dasar islam, sekolah dasar kristen, atau sekolah tinggi kristen.
d.      Landasan Sosiologis

Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki berbagai gejala sosial hubungan antar individu, antar golongan, antar lembaga sosial atau masyarakat. Di dalam kehidupan kita tidak hidup sendiri, namun hidup dalam suatu masyarakat. Dalam lingkungan itulah kita memiliki tugas yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab sebagai bakti kepada masyarakat yang telah memberikan jasanya kepada kita.

Tiap masyarakat memiliki norma dan adat kebiasaan yang harus dipatuhi. Norma dan adat kebiasaan tersebut memiliki corak nilai yang berbeda-beda, selain itu masing-masing dari kita juga memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Hal inilah yang menjadi pertimbangan dalam pengembangan sebuah kurikulum, termasuk perubahan tatanan masyarakat akibat perkembangan IPTEK. Sehingga masyarakat dijadikan salah satu asas dalam pengembangan kurikulum.




e.           Landasan Empiris
Pada saat ini perekonomian Indonesia terus tumbuh di tengah baying-bayang resesi dunia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 2005 sampai dengan 2008 berturut-turut 5,7%, 5,5%, 6,3%, 2008: 6,4% (www.presidenri.go.id/index.php/indikator). Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2012 diperkirakan lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomiNegara-negara ASEAN sebesar 6,5 – 6,9 % (Agus D.W. Martowardojo, dalam Rapat Paripurna DPR, 31/05/2012). Momentum pertumbuhan ekonomi ini harus terus dijaga dan ditingkatkan. Generasi muda berjiwa wirausaha yang tangguh, kreatif,ulet, jujur, dan mandiri, sangat diperlukan untuk memantapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan. Generasi seperti ini seharusnya tidak muncul karena hasil seleksi alam, namun karena hasil gemblengan pada tiap jenjang satuan pendidikan dengan kurikulum sebagai pengarahnya.
Sebagai negara bangsa yang besar dari segi geografis, suku bangsa, potensi ekonomi, dan beragamnya kemajuan pembangunan dari satu daerah ke daerah lain, sekecil apapun ancaman disintegrasi bangsa masih tetap ada. Maka, kurikulum harus mampu membentuk manusia Indonesia yang mampu menyeimbangkan kebutuhan individu dan masyarakat untuk memajukan jatidiri sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan kebutuhan untuk berintegrasi sebagai satu entitas bangsa Indonesia.
Dewasa ini, kecenderungan menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan kasus pemaksaan kehendak sering muncul di Indonesia. Kecenderungan ini juga menimpa generasi muda, misalnya pada kasus-kasus perkelahian massal. Walaupun belum ada kajian ilmiah bahwa kekerasan tersebut berhulu dari kurikulum, namun beberapa ahli pendidikan dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa salah satu akar masalahnya adalah implementasi kurikulum yang terlalu menekankan aspek kognitif dan keterkungkungan peserta didik di ruang belajarnya dengan kegiatan yang kurang menantang peserta didik. Oleh karena itu, kurikulum perlu direorientasi dan direorganisasi terhadap beban belajar dan kegiatan pembelajaran yang dapat menjawab kebutuhan ini. Berbagai elemen masyarakat telah memberikan kritikan, komentar, dan saran berkaitan dengan beban belajar siswa, khususnya siswa sekolah dasar. Beban belajar ini bahkan secara kasatmata terwujud pada beratnya beban buku yang harus dibawa ke sekolah. Beban belajar ini salah satunya berhulu dari banyaknya matapelajaran yang ada di tingkat sekolah dasar. Maka, kurikulum pada tingkat sekolah dasar perlu diarahkan kepada peningkatan 3 (tiga) kemampuan dasar, yakni baca, tulis, dan hitung, dan pembentukan karakter.
Berbagai kasus yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang, manipulasi, termasuk masih adanya kecurangan di dalam Ujian Nasional menunjukkan mendesaknya upaya menumbuhkan budaya jujur dan antikorupsi melalui kegiatan pembelajaran di dalam satuan pendidikan. Maka, kurikulum harus mampu memandu upaya karakterisasi nilai-nilai kejujuran pada peserta didik. Pada saat ini, upaya pemenuhan kebutuhan manusia telah secara nyata mempengaruhi secara negatif lingkungan alam. Pencemaran, semakin berkurangnya sumber air bersih adanya potensi rawan pangan pada berbagai beahan dunia, dan pemanasan global merupakan tantangan yang harus dihadapi generasi muda di masa kini dan di masa yang akan datang. Kurikulum seharusnya juga diarahkan untuk membangun kesadaran dan kepedulian generasi muda terhadap lingkungan alam dan menumbuhkan kemampuan untuk merumuskan pemecahan masalah secara kreatif terhadap isu-isu lingkungan dan ketahanan pangan.
Dengan berbagai kemajuan yang telah dicapai, mutu pendidikan Indonesia harus terus ditingkatkan. Hasil riset PISA (Program for International Student Assessment),studi yang memfokuskan pada literasi bacaan, matematika, dan IPA menunjukkan peringkat Indonesia baru bisa menduduki 10 besar terbawah dari 65 negara. Hasil Riset TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study) menunjukkan siswa Indonesia berada pada rangking amat rendah dalam kemampuan (1) memahami informasi yang komplek, (2) teori, analisis dan pemecahan masalah, (3) pemakaian alat, prosedur dan pemecahan masalah dan (4) melakukan investigasi. Hasil-hasil ini menunjukkan perlu ada perubahan orientasi kurikulum, dengan tidak membebani peserta didik dengan konten namun pada aspek kemampuan esensial yang diperlukan semua warga negara untuk berperanserta dalam membangun negaranya pada abad 21.

5.      Komponen Kurikulum

A.      Komponen Tujuan

Komponen tujuan berhubungan dengan arah atau hasil yang diharapkan. Dalam skala makro, rumusan tujuan kurikulum erat kaitannya dengan filsafat atau sistem nilai yang dianut masyarakat. Bahkan, rumusan tujuan yang menggambarkan suatu masyarakat yang di cita – citakan, misalkan, filsafat atau sistem nilai yang dianut masyarakat Indonesia adalah pancasila, maka tujuan yang diharapkan tercapai oleh suatu kurikulum adalah terbentuknya masyarakat yang pancasilais. Dalam skala mikro, tujuan kurikulum berhubungan dengan misi dan visi sekolah serta tujuan yang lebih sempit, seperti tujuan setiap mata pelajaran dan tujuan proses pembelajaran.
B.     Komponaen bahan ajar
            menurut pannen (2003:13) terdiri dari tiga komponen inti, yaitu komponen utama, komponen pelengkap dan komponen evaluasi hasil belajar. Komponen utama berisi informasi atau topik utama yang ingin disampaikan kepada siswa, atau harus dikuasai siswa. Umumnya bahan ajar utama berbentuk bahan ajar cetak. Sedangkan komponen pelengkap dapat berupa informasi atau topik tambahan yang berintegrasi dangan bahan ajar utama berbentuk bahan ajar cetak. Sedangkan komponen pelengkap dapat berupa informasi atau topik tambahan yang terintegrasi dengan bahan utama, atau informasi atau topik pengayaan wawasan siswa. biasanya komponen pelengkap terdiri dari bahan pendukung cetak (materi pengayaan, bacaan, jadwal, silabus), bahan pendukung non cetak (kaset, CD, VCD), panduan siswa, panduan guru, dan lain-lain yang diperlukan siswa untuk mempelajari suatu topik yang disajikan melaluikomponen pelengkap terdiri dari bahan pendukung cetak (materi pengayaan, bacaan, jadwal, silabus), bahan pendukung non cetak (kaset, CD, VCD), panduan siswa, panduan guru, dan lain-lain yang diperlukan siswa untuk mempelajari suatu topik yang disajikan melalui beragam media. Adapun komponen evaluasi hasil belajar terdiri dari perangkatsoal atau butir tes atau alat evaluasi hasil belajar non tes yang dapat digunakan untuk tes formatif siswa selama proses pembelajaran dan tes sumatif siswa pada akhir semester.
C.     Komponen proses belajar mengajar
Tujuan akhir dri proses belajar mengajar adalah diharapkan terjadinya perubahan dalam tingkah laku anak. Komponen ini juga mempunyai keterkaitan erat dengan suasana belajar di ruangan kelas maupun di luar kelas. Dalam menciptakan suasana pengajaran yang kondusif agar efektivitas tercipta dalam proses pengajaran, Subandijah[6] mengatakan bahwa guru perlu memusatkan pada kepribadiannya dalam mengajar, menerapkan metode mengajarnya, memusatkan pada proses dengan produknya, dan memusatkan pada kompetensi yang releven.
D.     Komponen Hasil Belajar
Untuk menilai keberhasilan penguasaan siswa atau tujuan-tujuan khusus yang telah ditentukan, diadakan suatu evaluasi. Evaluasi ini disebut juga evaluasi hasil belajar mengajar. Dalam evaluasi ini disusun butir-butir soal untuk mengukur pencapaian tiap tujuan khusus yang telah ditentukan. Untuk tiap tujuan khusus minimal disusun satu butir soal. Menurut lingkup luas bahan dan jangka waktu belajar dibedakan antara evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.
Evaluasi formatif ditujukan untuk menilai penugasan siswa terhadap tujuan-tujan belajar dalam jangka waktu yang cukup pendek. Tujuan utama dari evaluasi formatif sebenarnya lebih besar ditujukan untuk menilai proses pengajaran. Dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah evaluasi formatif digunakan untuk menilai penugasan siswa setelah selesai mempelajari satu pokok bahasan. Hasil evaluasi formatif ini terutama digunakan untuk memeprbaiki proses belajar-mengajar dan membantu mengatassi kesulitan-kesulitan belajar siswa. Dengan demikian evaluasi formatif, selain sebagai fungsi menilai proses, juga merupakan evaluasi atau tes diagnostik.
Evaluasi sumatif ditujukan untuk menilai penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan yang lebih luas, sebagai hasil usaha belajar dalam jangkaa waktu yang cukup lama, satu semester, satu tahun atau selama jenjang pendididkan. Evaluasi sumatif mempunyai fungsi yang lebih luas dari pada evaluasi formatif. Dalm kurikulum pendidikan dasar dan menengah, evaluasi sumatif dimaksudkan untuk menilai kemajuan belajar siswa (kenaikan kelas, Kelulusan ujian) serta menilai efektifitas program secara menyeluruh.
Untuk mengukur tingkat penguasaan siswa terhadap tujuan-tujuan yang telah ditentukan atau bahan yang telah diajarkan ada dua macam, yaitu: Criterion Referenced dan Norm Referenced.
Dalam Criterion Referenced, Yaitu penguasaan siswa yang diukur dengan sesuatu tes hasil belajar dibandingkan dengan sesuatu kriteria tertentu umpamanya 80% dari tujuan atau bahan yang diberikan. Dengan demikian dalam criterion referenced ada suatu kriteria standar. Dalam Norm Referenced, tidak ada suatu kriteria sebagai standar, penguasaan siswa dibandingkan tingkat penguasaan kawan-kawannya satu kelompok. Dengan demikian norma yang digunakan adalah norma kelompok, yang lebih bersifat relatif. Kelompok ini dapat berupa kelompok kelas, sekolah, daerah, ataupun nasional,. Dalm implementasi kurikulum atau pelaksanaan pengajaran, criterion referenced digunakan pada evaluasi formatif, sedangkan norm referenced digunakan pad evaluasi sumatif.

 9.   Tingkatan Tujuan Pembelajaran
a.       Tujuan Pembelajaran Kognitif

o   Kawasan kognitif adalah kawasan membahas tujuan pembelajaran dengan proses mental yang berawal dari tingkat pengetahun ketingkat yang lebih tinggi yakni efaluasi. Kawasan kognitif terdiri dari enam tingkatan yaitu:
o   Tingkat pengetahuan adalah kemampuan paling rendah tetapi paling dasar dalam kawasan kognitif, diartikan kemampuan seseorang dalam menghafal atau mengingat kembali yang pernah diterimanya
o   Tingkat Pemahaman diartikan  kemampuan seseorang dalam mengartikan, menafsirkan, menerjemahkan, atau menyatakan sesuatu dengan caranya sendiri dengan cara yang pernaah diterimanya
o   Tingkat penerapan diartikan keampuan seseorang dalam menggunakan menggunakan pengetahuan dalam menggunuakan berbagai konsep, prinsip, prosedur, atau teori tertentu pada situasi tertentu
o   Tingkat analisis diartikan kemampuan menjabarkan atau mebnguraikan suatu konsep menjadi bagian-bagian yang lebih rinci, memilahmilih, merinci mengaitkan hasil rinciannya
o   Tingkat sintesis dartikan kemampuan untuk mengumpulkan dan mengoorganisasikan semua unsure atau bagian sehingga membentuk satu kesatuan secara utuh
o   Tingkat evaluasi diartikan kemampuan mengambil keputusan, menyatakan pendapat atau memberi penilaiaan berdasarkan  criteria tertentu baik kualitatif, maupun kwantitatif





B.     Tujuan Pembelajaran Efektif

Kawasan efektif adalah suatu domain yang berkaitan dengan sikap, nilai-nilai interest, apresiasi atau penghargaan dan penyesuaian perasaan social

·        Tujaun pengajaran yang diarahkan pada kawasan ini berorientasi pada factor-faktor emosional seperti perasaan, minat sikap, kepatuhan terhadap moral dan sebagainya. Penglongannya dikategorikan dalam enam taksonomi yaitu:
·        Penerimaan, taksonomi efektif pada tahap ini terbatas pada adanya perhatian stimulus
·        Penanggapan pada tahap ini yang bersangkutan mulai mengadakan aksi terhadap stimulus
·        Kepuasan menanggapi yaitu adanya aksi atau kegiatan yang herhubugan dengan usaha untuk memuaskan keeinginan
·        Penilaian sudah mulai timbul proses internalisasi, yaitu proses untuk memiliki dan menghayati nilai dari stimulus yang dihadapi
·        pengoorganisasian yang bersaangkutan tidak hanya mnginternalisasikan satu nilai tertentu seperti tahap komitmen, tapi mulai melihat beberapa nilai yang relevan untuk disusun menjadi satu system nilai
·        karakterisasi yaitu kemampuan untuk menghayaati atau mempribadikan system nilai




C.    Tujuan Pembelajaran Psikomotor

·        Pemgajaran yang terarah pada kawasan ini menuntut pembangunan ketramilan dalam bidang  tertentu. Simons membagi kawasan ini pada tujuh taksonomi yaitu:
·        Persepsi, berkenaan dengan penggunaan indra dalam melakukan kegiatan
·        Kesiappan melakukan suatu kegiatan, berkenaan dengan melakukan suatu kegiatan
·        Mekanisme, berkenaan dengan respon yang sudah dipelajarti
·        Respon terbimbing, berkenaan dengan meniru atau mengikuti
·        Kemahiran, berkenaan dengan penampilan gerak motorik dengan ketrampilan penuh
·        Adaptasi, berkenaan dengan kemampuan yang telah berkembang opada diri indifidu
·        Organisasi, berkenaan pada penciptaan pola gerak baru untuk disesuaikan dengan situasi atau masalah tertentu.
10.  Pengertian Belajar
Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon. Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini, dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respons.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pelajar, sedangkan respons berupa reaksi atau tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur, yang dapat diamati adalah stimulus dan respons. Oleh karena itu, apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh pelajar (respons) harus dapat diamati dan diukur.
11.    Kegunaan teori belajar bagi guru

Guru adalah teknisi pengajaran yang berurusan dengan produk produk pembelajaran. Guru bisa menggunakan prosedur yang telah dibuat oleh teknolog pembelajaran tanpa mementingkan intuisi dan  tidak perlu lagi melakukan validasi empiric. Hal ini karena prosedur yang dibuat telah diawali oleh intuisi dan telah diuji secara empiric.  Dalam menyusun prosedur tersebut teknolog pembelajaran telah menggunakan teori/prinsip yang dihasilkan ilmuwan.  Dalam menghasilkan teori, ilmuwan telah melakukan pengujian interaktif dan utuh.
Dengan adanya teori belajar dan pembelajaran guru bisa memanfaatkan teori belajar dan pembelajaran untuk menjadi guru yang professional.  Misalnya dalam merumuskan tujuan pembelajaran yang tepat, memilih strategi yang sesuai, memberikan bimbingan atau konseling, memfasilitasi dan memotivasi belajar peserta didik, menciptakan iklim belajar yang kondusif, berinteraksi dengan siswa secara tepat dan memberi penilaian secara adil terhadap hasil pembelajaran

12.    Ciri ciri tingkah laku hasil belajar, yaitu:
  • Terbentuknya tingkah laku baru berupa kemampuan aktual dan potensial
  • Kemampuan baru tersebut berlaku dalam waktu yang relatif lama
  • Kemampuan tersebut diperoleh melalui usaha

13.     Prinsip-Prinsip Belajar
Prinsip-prinsip dalam belajar baik bagi siswa yang perlu meningkatkan upaya belajarnya maupun bagi guru dalam upaya meningkatkan kualitas mengajarnya. Prinsip-prinip itu berkaitan dengan perhatian dan motivasi, keaktifan, keterlibatan langsung/berpengalaman, pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan, serta perbedaan individual.
a.      Perhatian dan Motivasi
Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar. Dari kajian teori belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tak mungkin terjadi belajar (Gage dan Berliner, 1984: 335). Perhatian terhadap pelajaran akan timbul pada siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Apabila bahan pelajaran itu dirasakan sebagai sesuatu yang di butuhkan, di perlukan untuk belajar lebih lanjut atau diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, akan membangkitkan motivasi untuk mempelajarinya.
Di samping perhatian, motivasi mempunyai peranan penting dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga yang menggerakan dan mengarahkan aktivitas seseorang. “Motivation is the concept we use when we describe the force actionon or within an organism to initiate and direct behavior” demikian menurut H.L. Petri (Petri, Herbert L, 1986:3). Motivasi dapat merupakan tujuan dan alat dalam pembelajaran. Sebagai tujuan, motivasi merupakan salah satu tujuan dalam mengajar. Guru berharap bahwa siswa tertarik dalam kegiatan intelektual dan estetik sampai kegiatan belajar berakhir. Sebagai alat, motivasi merupakan salah satu faktor seperti halnya intelegensi dan hasil belajar sebelumnya yang dapat menentukan keberhasilan belajar siswa dalam bidang pengetahuan, nilai-nilai, keterampilan.
Motivasi mempunyai kaitan yang erat dengan minat. Siswa yang memiliki minat terhadap sesuatu bidang studi tertentu cenderung tertarik perhatiannya. Motivasi juga di pengaruhi oleh nilai-nilai yang di anut akan mengubah tingkat laku manusia dan motivasinya.
Motivasi dapat bersifat internal, artinya datang dari dirinya sendiri, dapat juga bersifat eksternal yakni datang dari orang lain.
Motivasi juga di bedakan atas motif intrinsik dan motif ekstrinsik. Motif intrinsik adalah tenaga pendorong yang sesuai dengan perbuatan yang di lakukan. Sedangkan, motif ekstrinsik adalah tenaga pendorong yang ada diluar perbuatan yang dilakukannya tetapi menjadi penyertanya.
Motif intrindik dapat bersifat internal, datang dari diri sendiri, dapat juga bersifat eksternal, datang dari luar. Motif ekstrinsik bisa bersifat internal maupun eksternal, walaupun lebih banyak bersifat eksternal. Motif ekstrinsik dapat juga berupa menjadi motif intrinsik yang disebut “transformasi motif”.
b.      Keaktifan
Kecenderungan psikologi dewasa ini menganggap bahwa anak adalah makhluk yang aktif. Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai kemauan dan aspirasinya sendiri. Belajar tidak bisa di paksakan eloh orang lain dan juga tidak bisa di limahkan kepada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila anak aktif mengalami sendiri. John Dewey mengemukakan, bahwa belajar adlah menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari siswa sendiri, guru hanya sekedar pembimbing dan pengarah (John Dewey 1916, dalam Davies, 1937:31).
Menurut teori kognitif, belajar menunjukkan adanya jiwa yang sangat aktif, jiwa mengolah informasi yang kita terima, tidak sekadar menyimpannya saja tanpa mengadakan tranformasi. (Gage ad Barliner, 1984:267). Menurut teori ini anak memiliki sifat aktif, konstruktif, dan mampu merencanakan sesuatu. Anak mampu untuk mencari, menemukan, dan menggunakan pengetahuan yang telah di perolehnya. Dalam proses belajar-mengajar anak mampu megidentifikasi, merumuskan masalah, mencari dan menemukan fakta, menganalisis, menafsirkan, dan menarik kesimpulan.
Thornidike mengemukakan keaktifan siswa dalam belajar dengan hukum “law of excercise” –nya yang menyatakan bahwa belajar memerlukan adanya latiha-latihan. Mc Keachie berkenaan dengan prinsip keaktifan mengemukakan bahwa individu merupakan “manusia belajar yang aktif selalu ingin tahu, sosial” (Mc Keachie, 1976:230 dari Gredler MEB terjemahan Munandir, 1991:105).
Dalam proses belajar, siswa selalu menampakkan keaktifan. Keaktifan itu braneka ragam bentuknya. Mulai dari kegiatan fisik yang mudah kita amati sampai kegaiatan psikis yang susah diamati.
c.       Keterlibatan Langsung/Berpengalaman
Edgar Dale dalam penggolongan pengalaman belajar yang dituangkan dalam kerucut pengalamannya mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung siwa tidak sekedar mengamati secara langsung tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung dalam perbuatan, dan bertanggung jawab trehadap hasilnya.
Pentingnya keterlibatan lansung dalam belajar dikemukakan oleh John Dewey dengan “Learning by doing” –nya. Belajar sebaiknya dialami melalui perbuatan langsung. Belajar harus dilakukan oleh siswa secara aktif, baik, individual maupun kelompok, dengan cara memecahkan masalah (problem solving). Guru bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator.
Keterlibatan siswa di dalam belajar jangan di artikan keterlibatan fisik semata, namun lebih dari itu terutama adalah keterlibatan mental emosional, keterlibatan engan kegiatan kognitif dalam pencapaian dan perolehan pengetahuan, dalam penghayatan dan internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap dan nilai, dan juga pada saat mengadakan latihan-latihan dalam pembentukan ketrampilan.
d.      Pengulangan
Teori Psikologi Daya menerangkan bahwa belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya mengamat, menangggap, mengingat, mengkhayal, merasakan, berpikir dan sebagainya. Dengan mengadakan pengulangan maka daya-daya tersebut akan berkembang. Seperti halnya pisau yang selalu di asah akan menjadi tajam, maka daya-daya yang dilatih dengan pengadaan pengulangan-pengulangan akan menjadi sempurna.
Teori lain yang menekankan prinsip pengulangan adalah teori Psikologi Asosiasi atau Koneksionisme dengan tokohnya yang terkenal Thorndike. Berangkat dari salah satu hukum belajarnya “Law of Exercise”, ia mengemukakan bahwa belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan respons, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar peluang timbulnya respon benar. Seperti kata pepatah “Latihan menjadikan sempurna” (Thorndike, 1931b:20, dari Gredler, Margareth E Bell, terjemahan Munandir, 1991:51). Psikologi Conditioning yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari koneksionisme juga menekankan pentingnya pengulangan dalam belajar. Kalau pada koneksionisme, belajr adlah pembentukan hubungan stimulus dan respon maka pada psikologi conditioning respons akan timbul bukan karena saja oleh stimulus. Tetapi juga oleh stimulus yang dikondisikan.
Ketiga teori tesebut menekankan pentingnya prinsip pengulangan dalam belajar walaupun dengan tujuan yang berbeda. Yang pertama pengulangan untuk melatih daya-daya jiwa sedangkan yang kedua dan ketiga pengulangan untuk membentuk respon yang benar dan membentuk kebiasaan-kebiasaan. Walaupun kita dapat menerima bahwa belajar adalah pengulangan seperti yang ikemukakan ketiga teori tersebut, karena tidak dapat dipakai untuk menerangkan semua bentuk belajar, namun prinsip pengulangan masih relevan sebagai dasar pembelajaran. Dalam belajar masih tetap diperluksn latiahan pengulangan. Metode drill dan stereotyping adalah bentuk belajar yang menerapkan prinsip pengulangan (Gage dan Berliner, 1984:259).
e.      Tantangan
Teori medan (Field Theori) dari Kurt Lewin mengemukakan bahwa siswa dalam situasi belajar berada dalam suatu medan atau lapangan psikologis dalam situasi belajar siswa menghadapi suatu tujuan yang ingin di capai tetapi selalu terdapat hambatan yaitu mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hambatan itu yaitu dengan mempelajari bahan belajar tesebut. Apabila hambatan itu telah diatasi, artinya tujuan belajar talah tercapai, maka ia akan masuk dalam medan baru dan tujuan baru, demikian seterusnya. Agar pada anak timbul motif yang kuat untuk mengatasi hambatan dengan baik maka bahan belajar ahruslah menantang. Tantangan yang dihadapi dalam bahan belajar membuat siswa bergairah untuk mengatasinya. Bahan belajar yang baru, yang banyak mengandung masalah yang perlu dipecahkan membuat siswa tertantang untuk mempelajarinya. Pelajaran yang memberi kesempatan pada siswa untuk menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan prinsip-prinsip, generalisai tersebut. Dan belajar yang telah iolah secara tuntas oleh guru sehingga siswa tinggal menelan saja kurang menarik bagi siswa.
Penggunaan metode Eksperimen, inkuiri, discovery juga memberikan tantangan bagi siswa untuk belajar secara lebih giat dan sungguh-sungguh. Penguatan positif maupun negatif juga akan menantang siswa dan menimbulkan motif untuk memperoleh ganjaran atau terhindar dari hukum yang tidak menyenangkan.

f.        Perbedaan individual
Siswa merupakan individual yang unik artinya tidak ada dua orang siswa yang sama persis, tiap siswa memiliki perbedaan satu dengan yang lain. Perbedaan itu terdapat pada karakteristik psikis, kepribadian, dan sifat-sifatnya.
Perbedaan individual ini berpengaruh pada cara dan hasil belajar siswa. Karenanya, perbedaan individu perlu diperhatiakan oleh guru dalam upaya pembelajaran. Sistem penidikan klasikal yang dilakukan di sekolah kita kurang memperhatikan masalah perbedan individual, umumnya pelaksanaan pembelajaran di kelas dengan melihat siswa sebagai individu dengan kemampuan rata-rata, kebiasaan yang kurang lebih sama, demikian pula dengan pengetahuannya.
Pembelajaran yang bersifat klasikal yang mengabaikan perbeaan individual dapat diperbaiki dengan beberapa cara. Antara lain penggunaan metode atau strategi belajar-mengajar yang bervariasi sehingga perbedaan-perbedaan kemampuan siswa dapat terlayani. Juga penggunaan media intruksional akan membantu melayani perbeaan-perbedaan siswa dalam belajar. Usaha lain untuk pembelajaran klasikal adalah dengan memberikan tambahan pelajaran atau pengayaan pelajaran bagi siswa yang pandai, dan memberikan tugas-tugas hendaknya disesuaikan dengan minat dan kemampuan siswa sehingga bagi siswa yang pandai, sedang, maupun kurang akan merasakan berhasil di dalam belajar. Sebagai unsur primer dan sekunder dalam pembelajaran, maka dengan sendirinya siswa dan guru terimplikasi adanya prinsip-prinsip belajar.


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar